Kini, pahlawan tidak harus lagi menjadi martir
dengan
mengangkat bambu runcing menghadapi senapan ganas atau tank-tank penuh
keangkuhan. Menjadi pahlawan adalah mengisi kemerdekaan dengan keberanian
mempertahankan kebenaran pada ranahnya masing-masing.
***
Jika merujuk pada makna bahasa, pahlawan berarti orang yang
menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Berangkat
dari arti ini, maka setiap pribadi yang menjalankan aksi kebenaran dengan
semangat yang membara dan penuh keberanian dapat disebut pahlawan. Makna di
atas juga tidak membatasi ruang lingkup sosial seseorang. Apakah dia seorang jendral,
pejabat pemerintah, tokoh agama, petani, nelayan, atau tukang becak sekalipun.
Titik core-nya pada satu dimensi, yaitu
keberanian.
Bulan November merupakan bulan yang istimewa bagi Indonesia. Pada
bulan ini, bangsa Indonesia memiliki peristiwa penting dalam cacatan sejarah,
yaitu hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10. Peristiwa ini sesuai dengan core di atas, yaitu keberanian. Keberanian
arek-arek Suroboyo dalam
mempertahankan tanah air dari agrasi militer sekutu.
Jika berucap hari pahlawan, maka ada kalimat yang masih mengiang
ditelinga kita, yaitu pekikan suara Bung Tomo, “Allahu Akbar!, Allahu Akbar!,
Allahu Akbar!” pada seluruh lapisan
masyarakat untuk bergerak mengangkat senjata mempertahankan pribumi. Pekikan
itulah yang mengantarkan dirinya dalam goresan tinta emas sejarah.
Namun jika membaca sejarah secara mendalam dan mendengarkan
penuturan para saksi, maka kesuksesan 10 November sangat dipengaruhi oleh
Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pemegang
otoritas keagamaan Jawa Timur waktu itu. Beliau merupakan ulama kharismatik
yang memiliki jaringan ribuan pesantren di Nusantara.
Lewat jejaring pesantren inilah, gerakan Jihad melawan sekutu cukup
efektif memobilisasi mujahid-mujahid pada peristiwa besar 10 November. Laskar
Hizbullah dan Sabilillah yang didominasi kaum santri menjadi Garda terdepan
dalam menahan serangan. Tapi sayang kisah heroik kaum sarungan itu kini hampir
hilang –atau mungkin sengaja dihilangkan- dari lembaran sejarah.
Inilah yang menjadi tugas besar bangsa ini, terlebih para santri
untuk menguak kembali kisah heroik para pendahulu yang berani syahid
mempertahankan pribumi dari cengkraman penjajah. Meski dengan modal bambu
runcing, namun patriotisme telah merasuk kedalam sumsum hingga menembus ubun-ubun.
Mereka iman atas kalam hikmah “cinta tanah air bagian dari iman” hubbul wathan minal iman.
Kini, setelah puluhan tahun peristiwa heroik itu berlalu, tugas
kita meneladani keberanian mereka dalam menguak dan mempertahankan kebenaran. Kini, pahlawan tidak harus lagi menjadi martir
dengan mengangkat bambu runcing menghadapi senapan ganas atau tank-tank penuh keangkuhan. Menjadi pahlawan adalah mengisi kemerdekaan dengan keberanian mempertahankan kebenaran pada ranahnya masing-masing.
Berani jujur bagi pedagang, berani amanah bagi pejabat, berani
hidup sederhana bagi pengajar, berani menghadang panasnya matahari bagi petani,
berani menerjang ombak bagi nelayan, dan keberanian lainnya. Jika keberanian
itu dapat dipertahankan diantara berbagai kubangan penghiatan yang marak
terjadi maka yakinlah itu sikap kepahlawanan yang jika dilakukan siapapun maka layak
menyandang gelar pahlawan.
Wallahu
a’lam bis shawwab.
Tuban, 10 November 2012
Muhammad Hasyim
Laskar Hizbullah:
Sumbangsih nyata santri dan kiai
dalam mempertahankan NKRI.
Hotel Yamato:
Saksi bisu keberanian arek-arek Suroboyo
dalam jihad membela negara.
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari:
Tokoh kunci Resolusi Jihad
Bung Tomo:
Pengobar semangat Arek-Arek Suroboyo.