Sabtu, 29 September 2012
Kamis, 27 September 2012
Benarkah Islam Agama Teroris?
Akhir-akhir ini wajah dunia islam
terkoyak. Beberapa kasus bom dan kekerasan segelintir kelompok minoritas
seolah-olah menjadi pembenar bahwa islam adalah agama teroris. Benarkah
demikian? Inilah komentar Habib Shaleh al-Jufri, Ketua Umum Majelis Muwasholah
Baina Ulail Muslimin Indonesia yang memiliki jaringan seribuan pesantren di
Nusantara. Tulisan ini merupakan resume dari wawancara penulis di Aula
Pascasarjana UPN Veteran Surabaya beberapa waktu lalu.
Fitnah Besar
Tahun-tahun ini merupakan duka
besar bagi umat islam. Berbagai tragedi kekerasan melekat pada wajah islam yang
damai. Pengeboman dari satu tempat ke tempat lain menjadi alamat agama yang
sebenarnya melarang kekerasan.
Tragedi awal adalah runtuhnya
gedung WTC yang hingga sekarang masih diperselisihkan kebenaran fakta pelakunya.
Namun kejadian itu telah merembet hingga menjadi awal perang terhadap terorisme
yang disandarkan pada agama Islam. Besar kemungkinan ini termasuk propaganda musuh-musuh
islam yang ingin mencitrakan islam sebagai agama kekerasan.
Rasulullah tidak Mengajarkan
Kekerasan
Kebaikan dan kemungkaran merupakan
dua nama yang tidak bisa dipisahkan dalam realitasnya. Rasulullah mengajarkan
kita agar merubah kemungkaran dengan cara-cara yang tidak mungkar. Beliau
memberi aturan yang baik dan jelas.
Dalam sebuah hadits, beliau
memberikan tiga konsep perubahan, yaitu: merubah dengan tangan (kekuasaan),
merubah dengan lisan, dan merubah dengan hati. Masing-masing posisi memiliki
fungsi dan tempat yang berbeda. Perubahan dengan kekuasaan merupakan bagian
dari tugas Negara melalui aturan-aturan hukum. Perubahan lisan merupakan bagian
dari ulama melalui fatwa, mauidhoh, dan lain sebagainya. Sedangkan perubahan
hati atau doa adalah untuk kalangan umum umat muslimin.
Redaksi hadits di atas
menggunakan istilah perubahan bukan penghancuran. Logikanya, bagaimana caranya
umat yang kurang baik menjadi baik dan mungkar menjadi shaleh. Perubahan itu
harus dengan tahapan-tahapan yang benar.
Selain itu, semua pihak harus
berada pada posisinya. Seorang aparatur harus menggunakan pengaruhnya untuk
menghalau semaksimal mungkin kemungkaran.
Seorang ulama menyampaikan ilmunya tentang kebajikan. Sedangkan
masyarakat awam berdoa dengan hati yang ikhlas dan khuduk akan sirnanya
kemungkaran.
Jangan sampai kemudian terjadi
timpang tindih yang tidak karuan. Birokrasi berceramah kemana-mana tentang
agama sementara apa yang disampaikan tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Ulama
melakukan tindak kekerasan tanpa proses hukum yang jelas. Begitu pula orang
awam yang tidak berada pada posisinya. Bukankan kerusakan besar jika seorang
ulama mendiamkan ilmunya. Apalagi orang awam yang mengaku orang alim dengan
berbicara banyak hal namun hakekatnya dia sendiri tidak mengetahuinya.
Dakwah Budaya Walisongo
Kita bersyukur hidup di
Indonesia. Negara yang berpenduduk muslim terbesar dunia. Islam masuk ke
nusantara tidak melewati pertumpahan darah namun dengan jalan yang damai.
Adalah Walisongo, perkumpulan
para dai yang mengislamkan nusantara. Pengaruh-pengaruh mereka hingga kini
dapat kita rasakah meski telah melewati waktu ratusan tahun. ini menunjukkan
betapa dakwah mereka menancap kuat di hati dan bumi negeri ini.
Mereka mengajarkan islam dengan
memasuki budaya-budaya setempat. Mengajarkan agama dengan lagu-lagu yang baik,
berdagang, dan menikah. Tidak ada gerakan kekerasan. Namun hasilnya luar biasa,
mayoritas penduduk nusantara memilih ajaran Nabi Muhammad ini sebagai pedoman
hidup. Mari kita meniru dakwah mereka, merubah kemungkaran dengan cara-cara
yang santun.
Langganan:
Postingan (Atom)