Senin, 16 Juli 2012

KAFI, Embrio Gerakan Internet Sehat dan Aman Nusantara


       Apa yang diramalkan para futuristik beberapa tahun lalu telah menjadi kenyataan. Sebuah informasi yang bebas dan melepaskan sekat-sekat wilayah. Dulu, ketika telegram belum ditemukan, orang harus menunggu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menunggu kabar dari belahan dunia menuju belahan lainnya.
Kini, dengan perkembangan tehnologi dan informasi dengan hitungan seper sekian detik, kita dapat dengan mudah mendengar informasi, bukan hanya kabar tapi juga dalam bentuk audio-visual. Bahkan dalam tehnologi tertentu dapat melakukan interaktif dengan menggunakan teleconference.
Arus yang pesat dalam tehnologi informasi dan informasi (TIK) ini tidak semua berdampak positif. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu menjadi ‘bom waktu’ yang siap meluluhlantahkan bangungan peradaban yang dibangun para father founding bangsa selama ini. Ini terjadi jika TIK telah disalahgunakan.
Diantara letupan-letupan bom kecil telah kita lihat dalam realitas sehari-hari. Para pelajar kita, telah banyak mengakses tayangan-tayangan syur yang belum patut mereka lihat apalagi dinikamati dan dipraktekkan. Ratusan atau bahkan ribuan video mesum berjajar panjang mulai sabang hingga merauke menghiasi berita-berita media harian.
Selain itu, situs-situs berbau judi, game-game online yang tidak edukatif semarik marak digunakan. Para pelajar Indonesia lebih bersahabat atau bahkan bereforia dengan espektasi jejaring-jejaring sosial. Kegandrungan mereka hampir-hampir mengalahkan kedekatan dengan materi pelajaran. Sedangkan masih banyak guru dan orang tua hanya kuatir dan cemas tanpa dapat berbuat apa-apa.

Ketika Ulama, Intelektual, Birokrasi, dan Masyarakat Bergandeng Tangan
Potret di ataslah yang kemudian menjadi keprihatinan para ulama, intelektual, pemegang kebijakan Negara, dan masyarakat kita prihatin. Majelis Muwashalah sebagai representasi ulama, UPN Veteran representasi intelektual, Kemkominfo representasi abdi Negara, dan ICT Wacth representasi masyarakat serta bagai lembaga seperti PT Telkom telah mengadakan gerakan INSAN, Internet Sehat dan Aman. Gerakan ini telah menggandeng sekitar 1000 pesantren di seluruh nusantara yang berada di bawah jaringan Majelis Muwashalah Baina Ulamil Muslimin Indonesia.
Gerakan ini di mulai dari Provinsi Jawa Timur. Tahap awal telah mengadakan pelatihan komputer kepada perwakilan pesantren di Jawa Timur di UPN Veteran, Surabaya. Tahap kedua mengadakan sosialisasi para pengasuh pesantren di UPN Veteran, Surabaya. Sedangkan tahap ketiga mengadakan pelatihan lanjutan sepuluh pesantren di jawa timur pada 14-16 Juli 2012 di Pondok Pesantren Nurul Ikhlash, Sidoarjo, Jawa Timur.
Tahap ketiga ini, pelatihan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: kelas streaming, kelas social media, serta kelas hardware dan jaringan. Kelas pertama bertujuan untuk meng-online kan sebanyak mungkin pengajian-pengajian pesantren dan khazanah kitab kuning. Kelas kedua bertujuan membuat sebnyak mungkin web, blog, atau jejaring sosial berkaitan dengan dakwah dan informasi keilaman. Kelas ketiga bertujuan membangun jaringan yang kuat dalam TIK antar pesantren nusantara.
Usai tahap ketiga ini, seluruh Jawa Timur akan di bagi menjadi tujuh zona. Para out put pelatihan ini akan membangun jaringan di daerahnya masing-masing dengan dukungan relawan TIK bentukan Majelis Muwashalah, UPN Veteran, Kemkominfo, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Bapak Novianto selaku koordinator lapangan mengatakan, “Tahun 2012 tarjet pesantren Jawa Timur harus menjadi produsen TIK, bukan hanya konsumen saja”.
Tahap selanjutnya, gerakan ini akan digulirkan ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Kalimantan, dan seluruh nusantara. Bapak Novianto mengatakan, “Jawa Timur sebagai pilot project. Jika sukses akan digulirkan ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Kalimantan, dan seluruh pesantren nusantara”.

KAFI Sebagai Embrio Internet Sehat dan Aman
Dalam hitungan logisnya, dari 1000 pesantren jika menghasilkan 100 blog dakwah per pesantren maka akan tercipta 100.000 blog. Jika ini bisa berjalan dengan baik, maka gerakan dakwah akan mewarnai dunia online, dunia baru yang melepas sekat-sekat sosial dan territorial. Ini belum menghitung potensi jika masing-masing blog di tag di jejaring social, semisal facebook, twitter, dan lain sebagainya. Maka akan melahirkan gerakan dakwah yang beranak-pinak.
Untuk itulah, para peserta pelatihan TIK tahap pertama ini telah membentuk pergumulan sosial dengan nama Komunitas Santri Informatika yang diseingkat KAFI. Diharapkan komunitas ini bisa mengawal perjalanan gerakan internet sehat dan aman (INSAN). Sebuah misi yang sangat berat sebagai bentuk kepekaan pesantren atas dinamika social yang berkembang.
Ke depan jaringan dakwah ini bisa dikembangkan dengan memberikan informasi-informasi keislamaman dan menggerakkan berbagai potensi, seperti jual beli online, pelatihan online, dan lain sebagainya. Namun, gagasan-gagasan di atas tidak semudah membalikkan tangan. Perlu pemikiran yang cepat, efektif, dan efisien. Perlu ribuan –atau bahkan jutaan- tetes keringat untuk menjalankannya.
Semoga Majelis Muwashalah, UPN Veteran Surabaya, Kemkominfo, PT Telkom, ICT Wacth, Relawan TIK, dan berbagai elemen yang sudah ada bisa istiqamah melestarikan dan mengembangkan gerakan ini. Semoga gerakan ini benar-benar bisa mensehatkan dan mengamankan Indonesia dari anasir jahat dunia online. Menghiasi dan mengembangkan TIK dengan hal-hal yang bermanfaat. Amin!!!.  

Sidoarjo, 16 Juli 2012.


 Sosialisasi INSAN di UPN Veteran Surabaya
Dari kiri: Ketua Majelis Muwashalah Indonesia, 
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Dirjen Kemkominfo
Rektor UPN Veteran


  Penandatangan MoU INSAN
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Rektor UPN Veteran
PT Telkom Indonesia
Dirjen Kemkominfo
Usai acara:
Ketua Majelis Muwashalah Indonesia, 
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Rektor UPN Veteran
Dirjen Kemkominfo
PT Telkom Indonesia
Beberapa elemen lainnya


Minggu, 15 Juli 2012

Satu Hati Tiga Dimensi


Seperti konser-konser musik live di televisi, para santri kemarin malam terbius oleh penampilan yang memukau dari pelantun pujian-pujian (madaih) nabi. Shalawat yang biasa dilantunkan di mushalla agung dengan penuh khusyuk dan khudhu’ kini digemakan dengan sound bertenaga puluhan ribu watt dan gemerlap lampu puluhan ribu watt. Ribuan santri dan alumni tumplek blek di halaman Madrasah Pesantren.

Habib Syekh saat itu layaknya tokoh sufi yang mampu mengocok desiran jiwa para pendengar. Ketika lagu-lagu gembira dilantukan maka suasanapun menjadi genggap gempita dan penuh semangat. Tangan-tangan dilambaikan seperti pergerakan dahan-dahan pepepohonan tertiup angin kencang, melambai ke kiri dan kanan. Ketika lagu-lagu sedih dilantunkan maka buliran bening membuncah menetes dari kedua telaga hadirin. Teriakan-teriakan histeris yang muncul dari sumbulan relung hati menyeruak membahana ke angkasa, “Allaaaahhhhh…..!!” Sungguh dua titik yang berbeda dalam satu pementasan sarat makna.

Sudah lama sebenarnya saya mengenal lagu-lagu Habib Syech, penyair pujian-pujian (madaih) Nabi. Beberapa tahun lalu beliau hadir di Haul Pesantren. Saat itu beliau belum setenar kali ini. Tapi lekuk nada dan iramanya sudah khas, “hahaa…hahaa…hahaa…ha-ha-haa..!” (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau). Contohnya pada lagu Ya Hana, maka pada lirik, “dalikal fadhlu minallah…hahaa…hahaa…hahaa…ha-ha-haa..!”

Tahun ini pesantren mengundang kembali pelantun madaih itu. Bedanya, nama beliau sekarang cukup tenar dan tidak sulit menemukan lagu-lagu beliau dari cd-cd di pasaran atau sekedar ‘gratisan’ via bluethoot hp. Ini sekaligus penanda betapa shalawat beliau telah mengakar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang telah muncul para Syecher -fans berat Habib Syech yang- layaknya Slanker untuk fans berat group Slank dan Bala Dewa untuk fans berat group Dewa.

Munculnya Syecher ke permukaan merupakan bentuk dinamika sosial. Dimana ketika dominasi musik yang berkonotasi ‘lahwu’ dan ‘laibun’ sudah tidak terbendung lagi. Atau bahkan musik-musik‘ma’shiatun’ telah menjamur dan menghiasi hampir seluruh vcd rumahan. Syecher ingin mewarnai –atau jika memungkinkan menghempaskan- tipologi tersebut. Syecher merupakan bentuk pemberontakan jagat hiburan Indonesia.

Shalawat bersama Habib Syech bukan sekedar pembacaan shawalat saja. Bukan pula lantunan irama tanpa makna. Tapi irama sarat makna yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad Saw. Memuji sifat-sifat agung dan tauladan beliau. Membaca rentetan dan kejadian terbaik dalam sepanjang sejarah kehidupan.

Selain berisi madaih, shalawat bersama Habib Syech sering diselingi dengan dzikir-dzikir di tengah-tengah. Misalnya ketika berada di tengah hentakan irama yang tinggi biasanya alur shalawat di berikan kepada backing suara dan beliau mengambil dzikir “laa ilaha illallah…! laa ilaha illallah…!” atau dalam irama datar memberikan kepada backing suara dan beliau menuntun hadirin untuk berdzikir,“Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah wallahu akbar… Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah wallahu akbar…”.

Uniknya, dalam senandung dzikir, Habib Syech biasa menggerakkan tangan secara reflek dalam bentuk memutar kemudian disambut dengan goyangan tangan para syecher. Ketika berada pada dzikir,“Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah” para syecher melambaikan tangan ke kanan dan ke kiri kemudian pada lafadz “wallahu akbar” tangan diarahkan ke atas.   

Dengan gerakan ini, maka hampir sama dengan metode dzikir beberapa thariqah. Usaha ini merupakan cara agar sampai pada kondisi hudhur dan hudhu’ lebih cepat, ekstase dengan Tuhan. Nalarnya seperti gerakan tarian rumi, berdzikir dengan iringingan gerakan. Meski perlu ditegaskan para syecher tidak sama persis.

Daya tarik shalawat ini juga berasal dari pribadi pelantun madaih. Pertama, beliau merupakan seorang Habib, yang memiliki nasab keturunan hingga Nabi Muhammad Saw. Ini menjadi magnet tersendiri bagi hadirin. Bahwa darah yang menetes dari Rasulullah memiliki makna dan tingkat yang berbeda. Keluarga-keluarga Rasulullah merupakan keluarga-keluarga pilihan.

Kedua, dalam bentuk penampilan, pelantun madaih tergolong perfect. Memiliki postur ideal dan menggunakan pakaian Arabic sehingga para hadirin benar-benar merasa berada dalam suasana arab yang dapat mendekatkan dengan kultur
Nabi Muhammad Saw. Biasanya beliau memakai tasbih dan tongkat yang menambah kewibawaan.

Ketiga, pelantun madaih memiliki komunikasi yang baik dengan hadirin. Beliau seperti cooking yang bisa menyediakan makanan di tempat dan selera yang pas. Selain shalawat, biasanya menambah syi’iran-syi’iran dalam bahasa Indonesia atau jawa. Dan temanya disesuikan dengan kultur dan budaya hadirin. Dengan komunikasi inilah, madaih beliau telah merasuk dalam relung jiwa amat dalam. Menyanjung baginda besar Muhammad Saw dan berdzikir kepada Allah tanpa melepaskan eksistensi lokalitas.

Keempat, modifikasi suara dan irama pelantun madaih cukup mengesankan. Sementara belum ada bentuk irama khas seperti beliau, seperti: “hehe…hehe…hehe-e-e-e-e-“ (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau), “he..he..he-he-he…” (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau), dan masih banyak lainnya. Meski suara beliau tidak bening tapi merdu dan inilah menjadi ciri khas. Jika ditanya tidak bening kok bisa merdu maka bisa dijawab seperti tidak semua hidup itu harus manis. Terkadang kita memilih pahitnya kopi dalam suatu minuman. ‘Pahitnya’ kopi akan menjadi ‘manisnya’ hidup. Manis dan pahitnya terkadang menjadi sangat nisbi, sama seperti bening dan merdu. Wal hasil kombinasi modifikasi suaran dan irama cukup enak untuk didengar.

Kelima, selain bershalawat kepada Nabi, Habib Syech biasanya memberikan taushiyah atau mauidhah hasanah. Inilah yang membedakan dengan konsep konser music, pembacaan shawalat, dan pengajian umum lainnya. Bersama Habib Syech ketiga hal ini dapat tercapai dengan baik. Beliau menggabungkan antara tontonan dan tuntunan. Keberadaan beliau dapat menjadi pelepas rindu kesenangan, dahaga kekeringan jiwa, dan minimnya tokoh panutan. Satu hati dengan tiga dimensi; artis, sufi, dan ulama.
Add caption

Maka tidak jarang dengan penyatuan dimensi itu, setiap srokalan (mahallu qiyam), banyak mata yang membuncahkan air mata. Mantra-mantra doa yang beliau ucapkan dapat diterima dengan baik oleh sensor mata dan telinga. Merasuk kedalam memori kepala dan akhirnya menusuk kedalam hati dan jantung. Bagai rusa terkena panah pemburu. Hati kita telah mati, terkena panah khusyuk dan khudur, “Allaaah! Allaaah! Allaaah!”.

















   

Kiai Mujab dan Mujib


Suatu ketika, dua orang Kiai duduk bersandingan dalam bangku bis. Sebut saja Kiai Mujab (bukan nama asli) dan Kiai Mujib (bukan nama asli). Mereka berdua merupakan para lelaki pecinta ilmu. Meski dalam perjalanan namun masih sempat membahas beberapa masalah keagamaan. Tempat bagi mereka bukanlah halangan untuk berdiskusi.

Di tengah-tengah asyiknya melakukan pembahasan, tiba-tiba seorang pengamen masuk bis dengan lagu wajibnya:
“Selamat siang Bapak supir, Bapak kondektur dan para penumpang sekalian. Mohon maaf  harus bertemu kami lagi, pengamen jalanan. Yah numpang lewat, jual suara daripada harus mencuri ayam nanti digebugi orang.”
Mendengar lagu wajib di atas, perhatian kedua Kiai beralih. Kemudian kiai Mujab bertanya kepada Kiai Mujib, “Apa Kiai memberi uang pengamen ini?”.

“Ya.” Jawab Kiai Mujib.

“Lho bagaimana sampean ini? Apa tidak membantu kepada maksiat (i’anah alal ma’shiyat)?”

“Ah bisa saja sampean ini”

“Iya. Coba bayangkan, jika nanti Kiai kasih, uangnya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat”.

"Tidak semua pengamen seperti itu"

kemudian hening. disisi lain, sang pengamen sudah mulai meng-genjreng gitarnya dan melewati beberapa lagu. Dan di akhir ‘pementasan’, pengamen menutup dengan koor, “Yah demikian tadi lagu yang dapat saya sampaikan. Bunga-bunga sosial anda adalah rizki bagi kami. Ikhlas dari anda halal bagi kami. Jika ada uang recehan; seratusan, dua ratusan, lima ratusan atau seribuan kami sangat senang. Tapi lima ribuan juga kami terima. Kalau tidak ada recehan, rokok-rokok juga tidak apa-apa. Kalau tidak merokok ya di kasih senyuman.”

Kemudian pengamen mulai membuka bungkus permen kosong yang dilewatkan depan masing-masing penumpang. Dari kejauhan terdengan, “klitik” yang menandakan uang lima ratusan. Kemudian, “klitik” lagi menandakan seratusan, kemudian “crik” menandakan seratusan tiga buah, dan seterusnya.

Ketika hampir sampai di depan tempat duduk kedua Kiai tadi, pengamen agak ragu. Akhirnya ia lewati karena ‘malu’ akan aura kedua kiai tadi. Ehhh… tanpa dinyana, Kiai Mujib malah berkata, “Mas ini mas, sambil menjepit uang lima ribuan”.

“Terima kasih pak haji… terima kasih… semoga bisa naik haji lagi” ucap pengamen dengan hati berbunga-bunga dapat ‘durian runtuh’.

Kiai Mujib hanya menjawab dengan senyum dan bilang, “amin” dalam hati.

Kiai Mujab merasa penasaran dengan sikap Kiai Mujib.

Setelah melihat gelagat demikian, Kiai Mujib menjawab tanda tanya hati Kiai Mujab:
“Saya kasihan dengan pengamen itu. Hidupnya harus tertawan oleh kehidupan. Dari waktu ke waktu mereka berpindah satu bis ke bis lain demi mencari sesuap nasi dan seonggok kenikmatan fatamorgana, kenikmatan yang bersifat sementara dan semu. Saya berdoa semoga dengan uang yang tidak seberapa tadi dapat memberi pengaruh positif atas dirinya sehingga mampu berubah dengan baik.”

Kiai Mujab berkata, “Prosentase uang sampean terlalu kecil untuk mempengaruhi mereka”.

“Dalam beramal, kita tidak harus berorientasi pada kalkulasi prosentase. Saya hanya teringat pesan guru saya dulu, beramallah dengan ikhlas. Karena keikhlasan itu bisa menghantarkan hasil yang tiada bandingannya. Amal yang ikhlash akan direngkuh Tuhan dan dikembalikan sesuai kadar dan kehendak Tuhan. Satu bisa dibalas sepuluh, tujuh ratus, hingga dalam hitungan tidak terhingga; semilyar, setrilyun atau lebih banyak. Sekali lagi terserah Tuhan.”

Suasana bangku kedua kiai hening. Hanya dengungan mesin dan teriakan kondektur menarik penumpang yang terdengar. Kemudian Kiai Mujib meneruskan, “Tuhan telah mengajari kita untuk berbelas kasihan kepada siapa saja dalam ranah sosial, dan berbelas kasih kepada orang tertentu dalam masalah agama. Itulah mengapa Tuhan memiliki sebutan al-Rahman dan al-Rahim. Kata al-Rahman memiliki cakupan makna yang lebih luas dari Al-Rahim. Meski keduanya berasal dari akar kata yang sama, yaitu “rahima” (ra’-ha’-mim) namun memiliki kandungan makna yang berbeda.

Lafadz Rahman (ra’-ha’-mim-alif-nun atau lima huruf) lebih banyak kompisinya dari Rahim (ra’-ha’-ya’-mim  atau empat huruf) yang berarti memiliki makna yang lebih. Sebab kaidah bahasa menyebutkan ketika akar kata sama namun memiliki huruf yang lebih banyak maka maknanya lebih banyak juga(ziyadatul harfi tadullu ala ziyadatul makna). Kata Rahman berarti Allah itu memberi belas kasih kepada seluruh hambanya, baik yang beriman atau tidak di dunia ini, yang taat atau tidak. Dan kata Rahim berarti Allah itu hanya memberi anugerah kepada orang beriman saja kelak di hari akhir.

Logikanya, dengan sifat Rahman maka Allah bisa saja memberi rizki yang berlebih kepada orang yang tidak beriman sekalipun mengalahkan orang yang beriman. Dan dengan sifat Rahimnya Allah hanya memberi nikmat orang-orang beriman saja setelah kematian. Itulah nikmat yang disampaikan Allah lewat makhluk teragung, “Dan bukankah kehidupan akhirat itu lebih utama bagimu daripada kehidupan dunia” (wa lal akhirotu khoirul laka minal ula).

“Dan salahkan saya ketika meniru sifat Rahman Tuhan dengan memberi sebagian rizki kepada pengamen tadi?” tambah Kiai Mujib.

Dua Senyum dan Dua Kata Cinta Syaikhina


Membahas tentang Syaikhina KH Abdullah Faqih (pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi keenam) mungkin tiada habisnya. Ibarat telaga, beliau memiliki mata air hikmah yang jernih , menderas, dan sarat makna. Bahkan karena besarnya mata air tersebut, hikmahnya meluber disekeliling, hingga dengan mudah orang menggayuh. Seperti kedamaian yang kita rasakan meski hanya memandang wajahnya.

Mungkin masih segar diingatan kita, bagaimana para ulama memberikan kesaksian dengan bashir danbashirah-nya bahwa Syaikhina merupakan tipikal ulama ideal. Secara bertubi-tubi pada malam ketujuh dan keempat puluh hari kewafatan beliau, para alim ulama memberi kesan yang mendalam.

Secara khusus, Gus Mus –sebutan Dr KH Musthofa Bisri- mengatakan bahwa ketika ulama wafat, maka yang diambil bukan hanya ilmunya namun juga adalah aura damai wajahnya. Gus Mus mengaku, dulu ketika berada dalam kegundahan, datang ke Langitan menemui Mbah Faqih (Syaikhina), gundah itu hilang meski cuma melihat wajah beliau.

Ini menunjukkan betapa kehadiran syaikhina memiliki aura yang luar biasa. Sebenarnya, bukan hanya Gus Mus saja mengatakan demikian. Mungkin semua orang akan mengamini kiai asal Leteh ini. Kita sebagai abnaus syaikh (anak ilmu syaikhina) tentu akan merasakan hal sama. Betapa sejuk nan damai wajah beliau.

Hampir sama dengan Gus Mus, adalah pengalaman KH D Zawawi Imron. Beliau terpesona dengan senyum Syaikhina. Dengan jujur pengasuh Pesantren al-Miftah Sumenep itu bertemu hanya dua kali dengan beliau. Namun dua pertemuan itu mampu menembus jantung hatinya.  

Apalagi jika dikaitkan dengan nalar Iqbal, tokoh pemikir yang menginspirasi berdirinya Negara Pakistan. Bahwa orang-orang mulia diibaratkan singa dan orang awam dengan domba. Nah kehidupan singa selama sehari sebanding dan seribu tahun kehidupan domba.

Menurut hemat Kiai Zawawi, kehidupan Syaikhina sehari sebanding dengan arti kehidupan seribu tahun kehidupan orang awam. Dan bersama beliau sehari lebih membekas daripada hidup selama seribu tahun bersama orang awam.

Untuk itulah, meski hanya bertemu syaikhina selama 2 kali, namun beliau mampu menyimpan kadar senyum itu hingga sekarang ini. Bahkan senyum itu mampu menjelma menjadi barisan kata yang indah. Menjadi oase hati dan melelehkan buliran bening di katub telaga mata ketika diheja.

Hampir sama dengan Kiai Zawawi adalah Habib Syekh. Pelantun madaih an-nabawiy (pujian-pujian nabi) itu hanya dua kali bertemu Syaikhina. Namun dua kali pertemuan itu menjadi sesuatu yang spesial.

Dalam sebuah wawancara redaktur Majalah Kakilangit di kediaman Solo, Habib Syekh bercerita bagaimana hatinya penasaran ketika ada orang menyebut nama Syaikhina. Rasa ingin bertemu membuncah namun beliau tidak tahu harus bagaimana cara sowannya. Rasa itupun disimpan di dalam hati sambil mengadu kepada Dzat yang menggerakkan kehidupan.

Beberapa tahun kemudian, Habib Syekh bertemu dengan salah satu putra Syaikhina. Dan betapa senangnya, Habib Syekh mendapat undangan untuk membaca shalawat di Langitan, pesantren yang diasuh Syaikhina. Karenanya, pria yang kerab berpakaian khas arab dalam setiap tampil itu menceritakan kepada orang-orang kalau dirinya telah diundang oleh Syaikhina, sosok yang selalu dikaguminya.

Setiba di Langitan, beliau tidak langsung bertemu dengan Syaikhina tapi diaturi ke tempat acara. Rasa penasaran menerpa luar biasa. Ingin sekali mengetahui, bagaimanakah KH Abdullah Faqih yang sering dibicarakan orang-orang. Setiap ada kiai sepuh yang naik ke tempat acara, Habib Syekh selalu berada dalam posisi dan mimik ideal kemudian mencium tangan. Tapi sayang beliau harus kecewa karena beberapa kiai yang diperlakukan seperti itu ternyata bukan Syaikhina.

Usai membacakan madaih, baru kemudian Habib Syekh diaturi masuk ke ndalem kasepuhan, bertemu dengan sosok yang dikaguminya. Itulah pertamakali beliau bertemu Syaikhina. Betapa bahagian hatinya saat itu. Beliau mensifati syaikhina dengan sosok sepuh yang penuh wibawa.

Ketika merangkul Syaikhina, hatinya luluh seperti anak berada dalam dekapan orang tua. Semua  kata dalam bahasa tidak mampu lagi dapat menampung. Apalagi ketika selarik kalimat muncul dari dua katub bibir Syaikhina, “Ana uhibbak” (aku mencintaimu). Bagai hati yang tersambar petir. Habib Syekh yang telah lama rindu ingin bertemu Syaikhina kini mendapat kata cinta dari Syaikhina.

Begitu pula dengan pertemuan kedua, saat itu Syaikhina usai di rawat Graha Amerta Surabaya. Pertemuan itu singkat, namun memberi bekas yang luar biasa. Suara syaikhina parau dan kurang begitu jelas. Namun, Habib Syekh menangkap kalimat yang kurang jelas itu, sama seperti pertemuan pertama, “Ana uhibbak” (aku mencintaimu). Serasa leleh hati Habib Syekh dengan guyuran kata cinta dari ulama sepuh penuh kharisma.

Kemudian Syaikhina meminta Habib Syekh untuk melantunkan shalawat nabi. Dengan penuh penghayatan, lelehlah air mata beliau. Berlinang mengiringi pujian-pujian pribadi mulia, Nabi Muhammad Saw.

Gus Mus, Kiai Zawawi, dan Habib Syekh adalah orang-orang yang secara fisik jarang bertemu dengan Syaikhina. Malah yang disebut dua terakhir hanya dua kali bertemu selama hidup. Namun kesan mendalam telah merajut bunga-bunga dalam samudra hati.

Pertanyannya, bagaimanakah dengan kita, Apakah yang dapat kita persembahkan kepada beliau. Seberapakah namanya menyatu dalam kehidupan kita?.

Wallahu a’lam bis shawwab.

* Tulisan ini di muat di Majalah Harakah edisi Juni 2012.  

Add caption