Minggu, 15 Juli 2012

Kiai Mujab dan Mujib


Suatu ketika, dua orang Kiai duduk bersandingan dalam bangku bis. Sebut saja Kiai Mujab (bukan nama asli) dan Kiai Mujib (bukan nama asli). Mereka berdua merupakan para lelaki pecinta ilmu. Meski dalam perjalanan namun masih sempat membahas beberapa masalah keagamaan. Tempat bagi mereka bukanlah halangan untuk berdiskusi.

Di tengah-tengah asyiknya melakukan pembahasan, tiba-tiba seorang pengamen masuk bis dengan lagu wajibnya:
“Selamat siang Bapak supir, Bapak kondektur dan para penumpang sekalian. Mohon maaf  harus bertemu kami lagi, pengamen jalanan. Yah numpang lewat, jual suara daripada harus mencuri ayam nanti digebugi orang.”
Mendengar lagu wajib di atas, perhatian kedua Kiai beralih. Kemudian kiai Mujab bertanya kepada Kiai Mujib, “Apa Kiai memberi uang pengamen ini?”.

“Ya.” Jawab Kiai Mujib.

“Lho bagaimana sampean ini? Apa tidak membantu kepada maksiat (i’anah alal ma’shiyat)?”

“Ah bisa saja sampean ini”

“Iya. Coba bayangkan, jika nanti Kiai kasih, uangnya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat”.

"Tidak semua pengamen seperti itu"

kemudian hening. disisi lain, sang pengamen sudah mulai meng-genjreng gitarnya dan melewati beberapa lagu. Dan di akhir ‘pementasan’, pengamen menutup dengan koor, “Yah demikian tadi lagu yang dapat saya sampaikan. Bunga-bunga sosial anda adalah rizki bagi kami. Ikhlas dari anda halal bagi kami. Jika ada uang recehan; seratusan, dua ratusan, lima ratusan atau seribuan kami sangat senang. Tapi lima ribuan juga kami terima. Kalau tidak ada recehan, rokok-rokok juga tidak apa-apa. Kalau tidak merokok ya di kasih senyuman.”

Kemudian pengamen mulai membuka bungkus permen kosong yang dilewatkan depan masing-masing penumpang. Dari kejauhan terdengan, “klitik” yang menandakan uang lima ratusan. Kemudian, “klitik” lagi menandakan seratusan, kemudian “crik” menandakan seratusan tiga buah, dan seterusnya.

Ketika hampir sampai di depan tempat duduk kedua Kiai tadi, pengamen agak ragu. Akhirnya ia lewati karena ‘malu’ akan aura kedua kiai tadi. Ehhh… tanpa dinyana, Kiai Mujib malah berkata, “Mas ini mas, sambil menjepit uang lima ribuan”.

“Terima kasih pak haji… terima kasih… semoga bisa naik haji lagi” ucap pengamen dengan hati berbunga-bunga dapat ‘durian runtuh’.

Kiai Mujib hanya menjawab dengan senyum dan bilang, “amin” dalam hati.

Kiai Mujab merasa penasaran dengan sikap Kiai Mujib.

Setelah melihat gelagat demikian, Kiai Mujib menjawab tanda tanya hati Kiai Mujab:
“Saya kasihan dengan pengamen itu. Hidupnya harus tertawan oleh kehidupan. Dari waktu ke waktu mereka berpindah satu bis ke bis lain demi mencari sesuap nasi dan seonggok kenikmatan fatamorgana, kenikmatan yang bersifat sementara dan semu. Saya berdoa semoga dengan uang yang tidak seberapa tadi dapat memberi pengaruh positif atas dirinya sehingga mampu berubah dengan baik.”

Kiai Mujab berkata, “Prosentase uang sampean terlalu kecil untuk mempengaruhi mereka”.

“Dalam beramal, kita tidak harus berorientasi pada kalkulasi prosentase. Saya hanya teringat pesan guru saya dulu, beramallah dengan ikhlas. Karena keikhlasan itu bisa menghantarkan hasil yang tiada bandingannya. Amal yang ikhlash akan direngkuh Tuhan dan dikembalikan sesuai kadar dan kehendak Tuhan. Satu bisa dibalas sepuluh, tujuh ratus, hingga dalam hitungan tidak terhingga; semilyar, setrilyun atau lebih banyak. Sekali lagi terserah Tuhan.”

Suasana bangku kedua kiai hening. Hanya dengungan mesin dan teriakan kondektur menarik penumpang yang terdengar. Kemudian Kiai Mujib meneruskan, “Tuhan telah mengajari kita untuk berbelas kasihan kepada siapa saja dalam ranah sosial, dan berbelas kasih kepada orang tertentu dalam masalah agama. Itulah mengapa Tuhan memiliki sebutan al-Rahman dan al-Rahim. Kata al-Rahman memiliki cakupan makna yang lebih luas dari Al-Rahim. Meski keduanya berasal dari akar kata yang sama, yaitu “rahima” (ra’-ha’-mim) namun memiliki kandungan makna yang berbeda.

Lafadz Rahman (ra’-ha’-mim-alif-nun atau lima huruf) lebih banyak kompisinya dari Rahim (ra’-ha’-ya’-mim  atau empat huruf) yang berarti memiliki makna yang lebih. Sebab kaidah bahasa menyebutkan ketika akar kata sama namun memiliki huruf yang lebih banyak maka maknanya lebih banyak juga(ziyadatul harfi tadullu ala ziyadatul makna). Kata Rahman berarti Allah itu memberi belas kasih kepada seluruh hambanya, baik yang beriman atau tidak di dunia ini, yang taat atau tidak. Dan kata Rahim berarti Allah itu hanya memberi anugerah kepada orang beriman saja kelak di hari akhir.

Logikanya, dengan sifat Rahman maka Allah bisa saja memberi rizki yang berlebih kepada orang yang tidak beriman sekalipun mengalahkan orang yang beriman. Dan dengan sifat Rahimnya Allah hanya memberi nikmat orang-orang beriman saja setelah kematian. Itulah nikmat yang disampaikan Allah lewat makhluk teragung, “Dan bukankah kehidupan akhirat itu lebih utama bagimu daripada kehidupan dunia” (wa lal akhirotu khoirul laka minal ula).

“Dan salahkan saya ketika meniru sifat Rahman Tuhan dengan memberi sebagian rizki kepada pengamen tadi?” tambah Kiai Mujib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar