Minggu, 15 Juli 2012

Dua Senyum dan Dua Kata Cinta Syaikhina


Membahas tentang Syaikhina KH Abdullah Faqih (pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi keenam) mungkin tiada habisnya. Ibarat telaga, beliau memiliki mata air hikmah yang jernih , menderas, dan sarat makna. Bahkan karena besarnya mata air tersebut, hikmahnya meluber disekeliling, hingga dengan mudah orang menggayuh. Seperti kedamaian yang kita rasakan meski hanya memandang wajahnya.

Mungkin masih segar diingatan kita, bagaimana para ulama memberikan kesaksian dengan bashir danbashirah-nya bahwa Syaikhina merupakan tipikal ulama ideal. Secara bertubi-tubi pada malam ketujuh dan keempat puluh hari kewafatan beliau, para alim ulama memberi kesan yang mendalam.

Secara khusus, Gus Mus –sebutan Dr KH Musthofa Bisri- mengatakan bahwa ketika ulama wafat, maka yang diambil bukan hanya ilmunya namun juga adalah aura damai wajahnya. Gus Mus mengaku, dulu ketika berada dalam kegundahan, datang ke Langitan menemui Mbah Faqih (Syaikhina), gundah itu hilang meski cuma melihat wajah beliau.

Ini menunjukkan betapa kehadiran syaikhina memiliki aura yang luar biasa. Sebenarnya, bukan hanya Gus Mus saja mengatakan demikian. Mungkin semua orang akan mengamini kiai asal Leteh ini. Kita sebagai abnaus syaikh (anak ilmu syaikhina) tentu akan merasakan hal sama. Betapa sejuk nan damai wajah beliau.

Hampir sama dengan Gus Mus, adalah pengalaman KH D Zawawi Imron. Beliau terpesona dengan senyum Syaikhina. Dengan jujur pengasuh Pesantren al-Miftah Sumenep itu bertemu hanya dua kali dengan beliau. Namun dua pertemuan itu mampu menembus jantung hatinya.  

Apalagi jika dikaitkan dengan nalar Iqbal, tokoh pemikir yang menginspirasi berdirinya Negara Pakistan. Bahwa orang-orang mulia diibaratkan singa dan orang awam dengan domba. Nah kehidupan singa selama sehari sebanding dan seribu tahun kehidupan domba.

Menurut hemat Kiai Zawawi, kehidupan Syaikhina sehari sebanding dengan arti kehidupan seribu tahun kehidupan orang awam. Dan bersama beliau sehari lebih membekas daripada hidup selama seribu tahun bersama orang awam.

Untuk itulah, meski hanya bertemu syaikhina selama 2 kali, namun beliau mampu menyimpan kadar senyum itu hingga sekarang ini. Bahkan senyum itu mampu menjelma menjadi barisan kata yang indah. Menjadi oase hati dan melelehkan buliran bening di katub telaga mata ketika diheja.

Hampir sama dengan Kiai Zawawi adalah Habib Syekh. Pelantun madaih an-nabawiy (pujian-pujian nabi) itu hanya dua kali bertemu Syaikhina. Namun dua kali pertemuan itu menjadi sesuatu yang spesial.

Dalam sebuah wawancara redaktur Majalah Kakilangit di kediaman Solo, Habib Syekh bercerita bagaimana hatinya penasaran ketika ada orang menyebut nama Syaikhina. Rasa ingin bertemu membuncah namun beliau tidak tahu harus bagaimana cara sowannya. Rasa itupun disimpan di dalam hati sambil mengadu kepada Dzat yang menggerakkan kehidupan.

Beberapa tahun kemudian, Habib Syekh bertemu dengan salah satu putra Syaikhina. Dan betapa senangnya, Habib Syekh mendapat undangan untuk membaca shalawat di Langitan, pesantren yang diasuh Syaikhina. Karenanya, pria yang kerab berpakaian khas arab dalam setiap tampil itu menceritakan kepada orang-orang kalau dirinya telah diundang oleh Syaikhina, sosok yang selalu dikaguminya.

Setiba di Langitan, beliau tidak langsung bertemu dengan Syaikhina tapi diaturi ke tempat acara. Rasa penasaran menerpa luar biasa. Ingin sekali mengetahui, bagaimanakah KH Abdullah Faqih yang sering dibicarakan orang-orang. Setiap ada kiai sepuh yang naik ke tempat acara, Habib Syekh selalu berada dalam posisi dan mimik ideal kemudian mencium tangan. Tapi sayang beliau harus kecewa karena beberapa kiai yang diperlakukan seperti itu ternyata bukan Syaikhina.

Usai membacakan madaih, baru kemudian Habib Syekh diaturi masuk ke ndalem kasepuhan, bertemu dengan sosok yang dikaguminya. Itulah pertamakali beliau bertemu Syaikhina. Betapa bahagian hatinya saat itu. Beliau mensifati syaikhina dengan sosok sepuh yang penuh wibawa.

Ketika merangkul Syaikhina, hatinya luluh seperti anak berada dalam dekapan orang tua. Semua  kata dalam bahasa tidak mampu lagi dapat menampung. Apalagi ketika selarik kalimat muncul dari dua katub bibir Syaikhina, “Ana uhibbak” (aku mencintaimu). Bagai hati yang tersambar petir. Habib Syekh yang telah lama rindu ingin bertemu Syaikhina kini mendapat kata cinta dari Syaikhina.

Begitu pula dengan pertemuan kedua, saat itu Syaikhina usai di rawat Graha Amerta Surabaya. Pertemuan itu singkat, namun memberi bekas yang luar biasa. Suara syaikhina parau dan kurang begitu jelas. Namun, Habib Syekh menangkap kalimat yang kurang jelas itu, sama seperti pertemuan pertama, “Ana uhibbak” (aku mencintaimu). Serasa leleh hati Habib Syekh dengan guyuran kata cinta dari ulama sepuh penuh kharisma.

Kemudian Syaikhina meminta Habib Syekh untuk melantunkan shalawat nabi. Dengan penuh penghayatan, lelehlah air mata beliau. Berlinang mengiringi pujian-pujian pribadi mulia, Nabi Muhammad Saw.

Gus Mus, Kiai Zawawi, dan Habib Syekh adalah orang-orang yang secara fisik jarang bertemu dengan Syaikhina. Malah yang disebut dua terakhir hanya dua kali bertemu selama hidup. Namun kesan mendalam telah merajut bunga-bunga dalam samudra hati.

Pertanyannya, bagaimanakah dengan kita, Apakah yang dapat kita persembahkan kepada beliau. Seberapakah namanya menyatu dalam kehidupan kita?.

Wallahu a’lam bis shawwab.

* Tulisan ini di muat di Majalah Harakah edisi Juni 2012.  

Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar