Minggu, 15 Juli 2012

Satu Hati Tiga Dimensi


Seperti konser-konser musik live di televisi, para santri kemarin malam terbius oleh penampilan yang memukau dari pelantun pujian-pujian (madaih) nabi. Shalawat yang biasa dilantunkan di mushalla agung dengan penuh khusyuk dan khudhu’ kini digemakan dengan sound bertenaga puluhan ribu watt dan gemerlap lampu puluhan ribu watt. Ribuan santri dan alumni tumplek blek di halaman Madrasah Pesantren.

Habib Syekh saat itu layaknya tokoh sufi yang mampu mengocok desiran jiwa para pendengar. Ketika lagu-lagu gembira dilantukan maka suasanapun menjadi genggap gempita dan penuh semangat. Tangan-tangan dilambaikan seperti pergerakan dahan-dahan pepepohonan tertiup angin kencang, melambai ke kiri dan kanan. Ketika lagu-lagu sedih dilantunkan maka buliran bening membuncah menetes dari kedua telaga hadirin. Teriakan-teriakan histeris yang muncul dari sumbulan relung hati menyeruak membahana ke angkasa, “Allaaaahhhhh…..!!” Sungguh dua titik yang berbeda dalam satu pementasan sarat makna.

Sudah lama sebenarnya saya mengenal lagu-lagu Habib Syech, penyair pujian-pujian (madaih) Nabi. Beberapa tahun lalu beliau hadir di Haul Pesantren. Saat itu beliau belum setenar kali ini. Tapi lekuk nada dan iramanya sudah khas, “hahaa…hahaa…hahaa…ha-ha-haa..!” (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau). Contohnya pada lagu Ya Hana, maka pada lirik, “dalikal fadhlu minallah…hahaa…hahaa…hahaa…ha-ha-haa..!”

Tahun ini pesantren mengundang kembali pelantun madaih itu. Bedanya, nama beliau sekarang cukup tenar dan tidak sulit menemukan lagu-lagu beliau dari cd-cd di pasaran atau sekedar ‘gratisan’ via bluethoot hp. Ini sekaligus penanda betapa shalawat beliau telah mengakar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang telah muncul para Syecher -fans berat Habib Syech yang- layaknya Slanker untuk fans berat group Slank dan Bala Dewa untuk fans berat group Dewa.

Munculnya Syecher ke permukaan merupakan bentuk dinamika sosial. Dimana ketika dominasi musik yang berkonotasi ‘lahwu’ dan ‘laibun’ sudah tidak terbendung lagi. Atau bahkan musik-musik‘ma’shiatun’ telah menjamur dan menghiasi hampir seluruh vcd rumahan. Syecher ingin mewarnai –atau jika memungkinkan menghempaskan- tipologi tersebut. Syecher merupakan bentuk pemberontakan jagat hiburan Indonesia.

Shalawat bersama Habib Syech bukan sekedar pembacaan shawalat saja. Bukan pula lantunan irama tanpa makna. Tapi irama sarat makna yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad Saw. Memuji sifat-sifat agung dan tauladan beliau. Membaca rentetan dan kejadian terbaik dalam sepanjang sejarah kehidupan.

Selain berisi madaih, shalawat bersama Habib Syech sering diselingi dengan dzikir-dzikir di tengah-tengah. Misalnya ketika berada di tengah hentakan irama yang tinggi biasanya alur shalawat di berikan kepada backing suara dan beliau mengambil dzikir “laa ilaha illallah…! laa ilaha illallah…!” atau dalam irama datar memberikan kepada backing suara dan beliau menuntun hadirin untuk berdzikir,“Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah wallahu akbar… Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah wallahu akbar…”.

Uniknya, dalam senandung dzikir, Habib Syech biasa menggerakkan tangan secara reflek dalam bentuk memutar kemudian disambut dengan goyangan tangan para syecher. Ketika berada pada dzikir,“Subahnallah walhamdlillah wa la ilaha illallah” para syecher melambaikan tangan ke kanan dan ke kiri kemudian pada lafadz “wallahu akbar” tangan diarahkan ke atas.   

Dengan gerakan ini, maka hampir sama dengan metode dzikir beberapa thariqah. Usaha ini merupakan cara agar sampai pada kondisi hudhur dan hudhu’ lebih cepat, ekstase dengan Tuhan. Nalarnya seperti gerakan tarian rumi, berdzikir dengan iringingan gerakan. Meski perlu ditegaskan para syecher tidak sama persis.

Daya tarik shalawat ini juga berasal dari pribadi pelantun madaih. Pertama, beliau merupakan seorang Habib, yang memiliki nasab keturunan hingga Nabi Muhammad Saw. Ini menjadi magnet tersendiri bagi hadirin. Bahwa darah yang menetes dari Rasulullah memiliki makna dan tingkat yang berbeda. Keluarga-keluarga Rasulullah merupakan keluarga-keluarga pilihan.

Kedua, dalam bentuk penampilan, pelantun madaih tergolong perfect. Memiliki postur ideal dan menggunakan pakaian Arabic sehingga para hadirin benar-benar merasa berada dalam suasana arab yang dapat mendekatkan dengan kultur
Nabi Muhammad Saw. Biasanya beliau memakai tasbih dan tongkat yang menambah kewibawaan.

Ketiga, pelantun madaih memiliki komunikasi yang baik dengan hadirin. Beliau seperti cooking yang bisa menyediakan makanan di tempat dan selera yang pas. Selain shalawat, biasanya menambah syi’iran-syi’iran dalam bahasa Indonesia atau jawa. Dan temanya disesuikan dengan kultur dan budaya hadirin. Dengan komunikasi inilah, madaih beliau telah merasuk dalam relung jiwa amat dalam. Menyanjung baginda besar Muhammad Saw dan berdzikir kepada Allah tanpa melepaskan eksistensi lokalitas.

Keempat, modifikasi suara dan irama pelantun madaih cukup mengesankan. Sementara belum ada bentuk irama khas seperti beliau, seperti: “hehe…hehe…hehe-e-e-e-e-“ (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau), “he..he..he-he-he…” (hanya bisa dipaham jika telah mengenal lagu-lagu beliau), dan masih banyak lainnya. Meski suara beliau tidak bening tapi merdu dan inilah menjadi ciri khas. Jika ditanya tidak bening kok bisa merdu maka bisa dijawab seperti tidak semua hidup itu harus manis. Terkadang kita memilih pahitnya kopi dalam suatu minuman. ‘Pahitnya’ kopi akan menjadi ‘manisnya’ hidup. Manis dan pahitnya terkadang menjadi sangat nisbi, sama seperti bening dan merdu. Wal hasil kombinasi modifikasi suaran dan irama cukup enak untuk didengar.

Kelima, selain bershalawat kepada Nabi, Habib Syech biasanya memberikan taushiyah atau mauidhah hasanah. Inilah yang membedakan dengan konsep konser music, pembacaan shawalat, dan pengajian umum lainnya. Bersama Habib Syech ketiga hal ini dapat tercapai dengan baik. Beliau menggabungkan antara tontonan dan tuntunan. Keberadaan beliau dapat menjadi pelepas rindu kesenangan, dahaga kekeringan jiwa, dan minimnya tokoh panutan. Satu hati dengan tiga dimensi; artis, sufi, dan ulama.
Add caption

Maka tidak jarang dengan penyatuan dimensi itu, setiap srokalan (mahallu qiyam), banyak mata yang membuncahkan air mata. Mantra-mantra doa yang beliau ucapkan dapat diterima dengan baik oleh sensor mata dan telinga. Merasuk kedalam memori kepala dan akhirnya menusuk kedalam hati dan jantung. Bagai rusa terkena panah pemburu. Hati kita telah mati, terkena panah khusyuk dan khudur, “Allaaah! Allaaah! Allaaah!”.

















   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar