Sabtu, 02 Maret 2013

Dari Pelangi Masalah, Dzikir, hingga Tarekat

Usai wawancara dengan Bapak Dahlan Iskan
di kediamannya, Surabaya.
Siapa yang tidak mengenal sosok ini. Beberapa gerakan besarnya dapat kita saksikan dalam perubahan Jawa Pos, PLN, dan kini sebagai Menteri BUMN. Ganti hati di China yang menghantarkan pada ujung tanduk kematian telah menyadarkan dirinya. Kini dirinya telah blusukan  pesantren dan memulai mendirikannya di beberapa tempat. 

***

Tulisan ini merupakan hasil wawancara saya dengan Dahlan Iskan usai mengikuti acara Suci Bershalawat Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir di Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur. Proses wawancara selama kurang lebih satu jam itu ditempuh di atas mobil perjalanan dari Gresik ke Rumah Dahlan Iskan di Surabaya.

Senin, 18 Februari 2013

Meneguhkan Kembali Cinta Rasul



Jika malam-malam biasa monas Jakarta identik dengan gemerlap metropolitan, 
maka malam itu, di mana ratusan ribu manusia memutihkankannya. Semua pasang mata membulirkan air mata sebagai bentuk rindu kepada Rasululllah Muhammad Saw. Semua itu terjadi berkat tuntunan dari al-Alim al-allamah al-Musnid Habib Umar bin Hafidz Yaman. Ad-Dai ilallah yang kini gencar menyerukan islam damai di berbagai belahan dunia, seperti Malaysia, Singapura, Afrika, Timur Tengah, Amerika Serikat, kawasan Eropa dan antero dunia lainnya.
***


Yang mulia Habib Umar bin Umar
bin Hafidz, Yaman
Tabligh Akbar di Monas sebenarnya merupakan satu rangkaian dari Safari Dakwah Habib Umar bin Hafidz Yaman. Sebagaimana jadwal yang dirilis oleh beberapa web jejaring dakwah, ulama kharismatik itu direncanakan di Indonesia selama sepekan dengan sederetan agenda yang telah direncanakan sebelumnya.
Dalam kesempatan itu, Pengasuh Rubath Darul Musthafa Yaman itu mengatakan bahwa kita harus bersyukur kepada Allah, karena telah dipilih menjadi umat Muhammad dan dapat meneladani beliau. Salah satu buktinya adalah berkumpul dalam pertemuanNa ini yang penuh berkah. Apalagi dalam bulan muharram ini, di mana Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk hijrah dari Makkah menuju Madinah.

Cinta Abu Bakar
Dijelaskan dalam sebuah kitab bahwa suatu siang Rasulullah datang kepada Abu bakar, waktu yang tidak biasanya beliau datang. Abu Bakar merasa ada yang janggal. Kenapa datang pada siang hari?. Dalam hatinya, menebak sesuatu telah terjadi.
Dan benar, ternyata Rasulullah memberikan kabar bahwa Allah telah memerintahkan untuk hijrah. Kemudian Abu Bakar menawarkan diri untuk menemaninya. Rasulullah pun memperbolehkan. Luar biasa senangnya Abu Bakar karena bisa menemani kekasihnya di waktu yang sulit. Sayyindatina Aisyah mengatakan, “Saya tidak pernah melihat raut bahagia Ayah seperti saat itu”.

Sabtu, 10 November 2012

Pahlawan


Kini, pahlawan tidak harus lagi menjadi martir dengan
mengangkat bambu runcing menghadapi senapan ganas atau tank-tank penuh
keangkuhan. Menjadi pahlawan adalah mengisi kemerdekaan dengan keberanian
mempertahankan kebenaran pada ranahnya masing-masing.

***

Jika merujuk pada makna bahasa, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Berangkat dari arti ini, maka setiap pribadi yang menjalankan aksi kebenaran dengan semangat yang membara dan penuh keberanian dapat disebut pahlawan. Makna di atas juga tidak membatasi ruang lingkup sosial seseorang. Apakah dia seorang jendral, pejabat pemerintah, tokoh agama, petani, nelayan, atau tukang becak sekalipun. Titik core-nya pada satu dimensi, yaitu keberanian.
Bulan November merupakan bulan yang istimewa bagi Indonesia. Pada bulan ini, bangsa Indonesia memiliki peristiwa penting dalam cacatan sejarah, yaitu hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10. Peristiwa ini sesuai dengan core di atas, yaitu keberanian. Keberanian arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan tanah air dari agrasi militer sekutu.
Jika berucap hari pahlawan, maka ada kalimat yang masih mengiang ditelinga kita, yaitu pekikan suara Bung Tomo, “Allahu Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar!”  pada seluruh lapisan masyarakat untuk bergerak mengangkat senjata mempertahankan pribumi. Pekikan itulah yang mengantarkan dirinya dalam goresan tinta emas sejarah.
Namun jika membaca sejarah secara mendalam dan mendengarkan penuturan para saksi, maka kesuksesan 10 November sangat dipengaruhi oleh Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pemegang otoritas keagamaan Jawa Timur waktu itu. Beliau merupakan ulama kharismatik yang memiliki jaringan ribuan pesantren di Nusantara.
Lewat jejaring pesantren inilah, gerakan Jihad melawan sekutu cukup efektif memobilisasi mujahid-mujahid pada peristiwa besar 10 November. Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang didominasi kaum santri menjadi Garda terdepan dalam menahan serangan. Tapi sayang kisah heroik kaum sarungan itu kini hampir hilang –atau mungkin sengaja dihilangkan- dari lembaran sejarah.
Inilah yang menjadi tugas besar bangsa ini, terlebih para santri untuk menguak kembali kisah heroik para pendahulu yang berani syahid mempertahankan pribumi dari cengkraman penjajah. Meski dengan modal bambu runcing, namun patriotisme telah merasuk kedalam sumsum hingga menembus ubun-ubun. Mereka iman atas kalam hikmah “cinta tanah air bagian dari iman” hubbul wathan minal iman.
Kini, setelah puluhan tahun peristiwa heroik itu berlalu, tugas kita meneladani keberanian mereka dalam menguak dan mempertahankan kebenaran. Kini, pahlawan tidak harus lagi menjadi martir dengan mengangkat bambu runcing menghadapi senapan ganas atau tank-tank penuh keangkuhan. Menjadi pahlawan adalah mengisi kemerdekaan dengan keberanian mempertahankan kebenaran pada ranahnya masing-masing. 
Berani jujur bagi pedagang, berani amanah bagi pejabat, berani hidup sederhana bagi pengajar, berani menghadang panasnya matahari bagi petani, berani menerjang ombak bagi nelayan, dan keberanian lainnya. Jika keberanian itu dapat dipertahankan diantara berbagai kubangan penghiatan yang marak terjadi maka yakinlah itu sikap kepahlawanan yang jika dilakukan siapapun maka layak menyandang gelar pahlawan. 

Wallahu a’lam bis shawwab.
Tuban, 10 November 2012
Muhammad Hasyim
 Laskar Hizbullah:
Sumbangsih nyata santri dan kiai
dalam mempertahankan NKRI.
Hotel Yamato:
Saksi bisu keberanian arek-arek Suroboyo
dalam jihad membela negara.
 Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari:
Tokoh kunci Resolusi Jihad
Bung Tomo:
Pengobar semangat Arek-Arek Suroboyo.

Minggu, 28 Oktober 2012

Membudayakan Kembali Tradisi Menulis Santri


Sebuah Diskusi Kecil di Saung Hotel Jayakarta Jogjakarta
Jogjakarta, 19 Oktober 2012 M.

Menulis sebenarnya bukanlah ‘barang’ baru umat muslim, termasuk kaum santri. Karena pada hakekatnya para pendahulu telah sukses membuktikan sebagai penulis-penulis kenamaan dunia. Sebut saja sebagai Imam Syafi’I yang dikenal sebagai fiqihnya, Imam Ghozali yang dikenal dengan Tasawufnya, Imam Bukhari yang dikenal dengan haditsnya, dan berbagai deretan nama lainnya. Sedangkan untuk wilayah nusantara, kita bisa menyebut nama Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz at-Tarmasi, KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.


Urgensi Menulis Bagi Santri

Menurut bahasanya, menulis berarti melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat dengan tulisan. Menulis menjadi penting karena secara umum dengan menulis memiliki minimal dua manfaat, yaitu: manfaat yang kembali kepada diri atau komunitas penulis dan manfaat untuk pihak luar penulis atau komunitas penulis. Bagian pertama, jika seseorang menulis maka akan memberi manfdaat pemafahan atas masalah-masalah yang dikaji. Kemudian ini akan menghasilkan perputaran keilmuan dalam komunitas tersebut.
Bagian kedua akan melahirkan dua manfaat juga, yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan atau menyiarkan ajaran agama dengan baik dan kedua sebagai satu kekuatan yang dapat melindungi pemikiran atau keyakinan kemunitas di persimpangan jalan pemikiran umat manusia. Misalnya saat terjadi persaingan dan tawar-menawar pemikiran dalam realitas kehidupan, maka jika santri mampu menulis dengan baik gagasan pemikirannya akan dapat menjadi pelindung dari anasir jahat pemikiran yang merusak.
Selain unsur di atas, menulis menurut Ahmad Fikri, salah satu pegiat kepenulisan santri di Jogjakarta dapat menjadi media yang penting dalam menyalurkan energi positif santri. Hal ini disampaikan saat memberikan materi kepada 29 utusan pesantren Nusantara di Hotel Jayakarya Yogyakarta pada tanggal 19 Oktober 2012.
Dalam kesempatan itu, penulis buku Tawashow di Pesantren itu mengatakan bahwa hari-hari ini geliat menulis di kalangan santri sudah mulai bangkit kembali. Ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya penulis-penulis nusantara yang berlatar balakang pesantren. Mereka dengan teguh menancapkan pemikiran dan eksistensi pesantren dalam ranah sosial-kemasyarakatan.

Dakwah dengan Media
Beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan berita yang mengaitkan pesantren dengan peristiwa kelam bangsa ini, yaitu kekecauan –prahara- sejarah tentang komunisme. Salah satu Koran besar nasional meng-ekspos besar-besar pemutar-balikan sejarah. Media itu menuduh salah satu Pesantren besar di Jawa Timur terlibat pelanggaran HAM berat, pembunuhan para anggota Partai Komunis kala itu. Padahal fakta sesungguhnya tidaklah demikian.
Pada dasarnya, pesantren-pesantren, termasuk yang dituduh itu memiliki doktrin yang kuat untuk tidak berbuat aniaya terhadap sesama, apalagi sampai membunuh. Sebuah hadits mengatakan, tidak diperkenankan berbuat aniaya, baik atas diri sendiri maupun terhadap orang lain. Jika kemudian dituduh melakukan pelanggaran HAM –dengan dakwaan pembunuhan massal- sungguh itu diluar nalar pemikiran pesantren. Pembunuhan tanpa sebab yang dibenarkan merupakan pelanggaran ajaran agama yang serius, termasuk dosa besar. Rasulullah Saw. Bersabda, jauhilah tujuh perkara yang merusak. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasulallah?”. Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh yang diharamkan Allah –kecuali dengan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh berzina perempuan baik-baik”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Meski demikian, karena yang mengangkat adalah salah satu media besar dan ternama di Indonesia, maka ‘pemutar-balikan’ itupun kini masih menjadi isu hangat nasional. Dari peristiwa ini, tentu kita tidak bisa menganggap ringan peran media dalam membentengi perjuangan dan dakwah santri. Apalagi jika akhir-akhir ini kita menyaksikan betapa banyak media-media yang memberikan pemahaman tentang islam namun dengan sumber dan rujukan yang tidak valid. Pemahaman ini akan melahirkan pendangkalan agama secara besar-besaran.
Sudah saatnya, pesantren-pesantren di seluruh nusantara untuk bangkit mempertahankan gagasan dan pemikirannya. Menyiarkan ajaran yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad Saw. Menolak pendapat-pendapat yang menyimpang dari garis yang ditetapkan. Kedua langkah ini bisa ditempuh –diantaranya- dengan menguatkan media dakwah.

Membangkitkan Kembali Tradisi Menulis Santri
Untuk itu, perlu adanya usaha membangkitkan kembali tradisi menulis dikalangan santri. Menurut Drs. H A Saefuddin, MA, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia bahwa sudah saatnya santri dan pesantren menggiatkan kembali potensi kepenulisannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan saat pembukaan Majma Pesantren se-Indonesia di Hotel Jayakarta Jogjakarta pada hari Jumat tanggal 19 Oktober 2012 M.
Dalam kesempatan itu pula, ia berharap setelah seminar ini pesantren dapat meningkatkan kualitas manajemen dan geliat kepenulisan pada masing-masing pesantren. Menyebarkan ilmu yang sudah didapat kepada sesama pengurus sehingga ilmunya lebih bermanfaat. Memaksimalkan segala potensi yang ada dalam mengembangkan pesantren.   
Acara ini juga disambut baik oleh para peserta. Wardhani Dimyati, perwakilan dari Pondok Pesantren Termas Pacitan mengatakan, “Acara-acara seperti ini sangat bermanfaat bagi pengembangan potensi pesantren”. Nur Wahid, perwakilan dari Asrama Pelajar Islam (API) Tegalrejo mengatakan, “Dengan adanya kegiatan ini saya dapat menambah wawasan jurnalistik”. Dan masih banyak komentar lain yang menunjukkan apresiasi terhadap kegiatan ini.
Usaha membangkitkan kembali gairah kepenulisan santri tentu tidak cukup hanya dengan seminar ini. Justru yang menjadi penting adalah adanya kesinambungan masing-masing pesantren dalam mengembangkan tradisi menulis. Dengan adanya acara ini diharapkan terjadi penguatan komunikasi antar pesantren dalam mengambangkan tradisi menulis.













Kamis, 27 September 2012

Benarkah Islam Agama Teroris?


Akhir-akhir ini wajah dunia islam terkoyak. Beberapa kasus bom dan kekerasan segelintir kelompok minoritas seolah-olah menjadi pembenar bahwa islam adalah agama teroris. Benarkah demikian? Inilah komentar Habib Shaleh al-Jufri, Ketua Umum Majelis Muwasholah Baina Ulail Muslimin Indonesia yang memiliki jaringan seribuan pesantren di Nusantara. Tulisan ini merupakan resume dari wawancara penulis di Aula Pascasarjana UPN Veteran Surabaya beberapa waktu lalu.

Fitnah Besar
Tahun-tahun ini merupakan duka besar bagi umat islam. Berbagai tragedi kekerasan melekat pada wajah islam yang damai. Pengeboman dari satu tempat ke tempat lain menjadi alamat agama yang sebenarnya melarang kekerasan. 
Tragedi awal adalah runtuhnya gedung WTC yang hingga sekarang masih diperselisihkan kebenaran fakta pelakunya. Namun kejadian itu telah merembet hingga menjadi awal perang terhadap terorisme yang disandarkan pada agama Islam. Besar kemungkinan ini termasuk propaganda musuh-musuh islam yang ingin mencitrakan islam sebagai agama kekerasan. 

Rasulullah tidak Mengajarkan Kekerasan
Kebaikan dan kemungkaran merupakan dua nama yang tidak bisa dipisahkan dalam realitasnya. Rasulullah mengajarkan kita agar merubah kemungkaran dengan cara-cara yang tidak mungkar. Beliau memberi aturan yang baik dan jelas.
Dalam sebuah hadits, beliau memberikan tiga konsep perubahan, yaitu: merubah dengan tangan (kekuasaan), merubah dengan lisan, dan merubah dengan hati. Masing-masing posisi memiliki fungsi dan tempat yang berbeda. Perubahan dengan kekuasaan merupakan bagian dari tugas Negara melalui aturan-aturan hukum. Perubahan lisan merupakan bagian dari ulama melalui fatwa, mauidhoh, dan lain sebagainya. Sedangkan perubahan hati atau doa adalah untuk kalangan umum umat muslimin.
Redaksi hadits di atas menggunakan istilah perubahan bukan penghancuran. Logikanya, bagaimana caranya umat yang kurang baik menjadi baik dan mungkar menjadi shaleh. Perubahan itu harus dengan tahapan-tahapan yang benar.
Selain itu, semua pihak harus berada pada posisinya. Seorang aparatur harus menggunakan pengaruhnya untuk menghalau semaksimal mungkin kemungkaran.  Seorang ulama menyampaikan ilmunya tentang kebajikan. Sedangkan masyarakat awam berdoa dengan hati yang ikhlas dan khuduk akan sirnanya kemungkaran.
Jangan sampai kemudian terjadi timpang tindih yang tidak karuan. Birokrasi berceramah kemana-mana tentang agama sementara apa yang disampaikan tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Ulama melakukan tindak kekerasan tanpa proses hukum yang jelas. Begitu pula orang awam yang tidak berada pada posisinya. Bukankan kerusakan besar jika seorang ulama mendiamkan ilmunya. Apalagi orang awam yang mengaku orang alim dengan berbicara banyak hal namun hakekatnya dia sendiri tidak mengetahuinya.

Dakwah Budaya Walisongo
Kita bersyukur hidup di Indonesia. Negara yang berpenduduk muslim terbesar dunia. Islam masuk ke nusantara tidak melewati pertumpahan darah namun dengan jalan yang damai.
Adalah Walisongo, perkumpulan para dai yang mengislamkan nusantara. Pengaruh-pengaruh mereka hingga kini dapat kita rasakah meski telah melewati waktu ratusan tahun. ini menunjukkan betapa dakwah mereka menancap kuat di hati dan bumi negeri ini.
Mereka mengajarkan islam dengan memasuki budaya-budaya setempat. Mengajarkan agama dengan lagu-lagu yang baik, berdagang, dan menikah. Tidak ada gerakan kekerasan. Namun hasilnya luar biasa, mayoritas penduduk nusantara memilih ajaran Nabi Muhammad ini sebagai pedoman hidup. Mari kita meniru dakwah mereka, merubah kemungkaran dengan cara-cara yang santun.

Senin, 16 Juli 2012

KAFI, Embrio Gerakan Internet Sehat dan Aman Nusantara


       Apa yang diramalkan para futuristik beberapa tahun lalu telah menjadi kenyataan. Sebuah informasi yang bebas dan melepaskan sekat-sekat wilayah. Dulu, ketika telegram belum ditemukan, orang harus menunggu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menunggu kabar dari belahan dunia menuju belahan lainnya.
Kini, dengan perkembangan tehnologi dan informasi dengan hitungan seper sekian detik, kita dapat dengan mudah mendengar informasi, bukan hanya kabar tapi juga dalam bentuk audio-visual. Bahkan dalam tehnologi tertentu dapat melakukan interaktif dengan menggunakan teleconference.
Arus yang pesat dalam tehnologi informasi dan informasi (TIK) ini tidak semua berdampak positif. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu menjadi ‘bom waktu’ yang siap meluluhlantahkan bangungan peradaban yang dibangun para father founding bangsa selama ini. Ini terjadi jika TIK telah disalahgunakan.
Diantara letupan-letupan bom kecil telah kita lihat dalam realitas sehari-hari. Para pelajar kita, telah banyak mengakses tayangan-tayangan syur yang belum patut mereka lihat apalagi dinikamati dan dipraktekkan. Ratusan atau bahkan ribuan video mesum berjajar panjang mulai sabang hingga merauke menghiasi berita-berita media harian.
Selain itu, situs-situs berbau judi, game-game online yang tidak edukatif semarik marak digunakan. Para pelajar Indonesia lebih bersahabat atau bahkan bereforia dengan espektasi jejaring-jejaring sosial. Kegandrungan mereka hampir-hampir mengalahkan kedekatan dengan materi pelajaran. Sedangkan masih banyak guru dan orang tua hanya kuatir dan cemas tanpa dapat berbuat apa-apa.

Ketika Ulama, Intelektual, Birokrasi, dan Masyarakat Bergandeng Tangan
Potret di ataslah yang kemudian menjadi keprihatinan para ulama, intelektual, pemegang kebijakan Negara, dan masyarakat kita prihatin. Majelis Muwashalah sebagai representasi ulama, UPN Veteran representasi intelektual, Kemkominfo representasi abdi Negara, dan ICT Wacth representasi masyarakat serta bagai lembaga seperti PT Telkom telah mengadakan gerakan INSAN, Internet Sehat dan Aman. Gerakan ini telah menggandeng sekitar 1000 pesantren di seluruh nusantara yang berada di bawah jaringan Majelis Muwashalah Baina Ulamil Muslimin Indonesia.
Gerakan ini di mulai dari Provinsi Jawa Timur. Tahap awal telah mengadakan pelatihan komputer kepada perwakilan pesantren di Jawa Timur di UPN Veteran, Surabaya. Tahap kedua mengadakan sosialisasi para pengasuh pesantren di UPN Veteran, Surabaya. Sedangkan tahap ketiga mengadakan pelatihan lanjutan sepuluh pesantren di jawa timur pada 14-16 Juli 2012 di Pondok Pesantren Nurul Ikhlash, Sidoarjo, Jawa Timur.
Tahap ketiga ini, pelatihan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: kelas streaming, kelas social media, serta kelas hardware dan jaringan. Kelas pertama bertujuan untuk meng-online kan sebanyak mungkin pengajian-pengajian pesantren dan khazanah kitab kuning. Kelas kedua bertujuan membuat sebnyak mungkin web, blog, atau jejaring sosial berkaitan dengan dakwah dan informasi keilaman. Kelas ketiga bertujuan membangun jaringan yang kuat dalam TIK antar pesantren nusantara.
Usai tahap ketiga ini, seluruh Jawa Timur akan di bagi menjadi tujuh zona. Para out put pelatihan ini akan membangun jaringan di daerahnya masing-masing dengan dukungan relawan TIK bentukan Majelis Muwashalah, UPN Veteran, Kemkominfo, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Bapak Novianto selaku koordinator lapangan mengatakan, “Tahun 2012 tarjet pesantren Jawa Timur harus menjadi produsen TIK, bukan hanya konsumen saja”.
Tahap selanjutnya, gerakan ini akan digulirkan ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Kalimantan, dan seluruh nusantara. Bapak Novianto mengatakan, “Jawa Timur sebagai pilot project. Jika sukses akan digulirkan ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Kalimantan, dan seluruh pesantren nusantara”.

KAFI Sebagai Embrio Internet Sehat dan Aman
Dalam hitungan logisnya, dari 1000 pesantren jika menghasilkan 100 blog dakwah per pesantren maka akan tercipta 100.000 blog. Jika ini bisa berjalan dengan baik, maka gerakan dakwah akan mewarnai dunia online, dunia baru yang melepas sekat-sekat sosial dan territorial. Ini belum menghitung potensi jika masing-masing blog di tag di jejaring social, semisal facebook, twitter, dan lain sebagainya. Maka akan melahirkan gerakan dakwah yang beranak-pinak.
Untuk itulah, para peserta pelatihan TIK tahap pertama ini telah membentuk pergumulan sosial dengan nama Komunitas Santri Informatika yang diseingkat KAFI. Diharapkan komunitas ini bisa mengawal perjalanan gerakan internet sehat dan aman (INSAN). Sebuah misi yang sangat berat sebagai bentuk kepekaan pesantren atas dinamika social yang berkembang.
Ke depan jaringan dakwah ini bisa dikembangkan dengan memberikan informasi-informasi keislamaman dan menggerakkan berbagai potensi, seperti jual beli online, pelatihan online, dan lain sebagainya. Namun, gagasan-gagasan di atas tidak semudah membalikkan tangan. Perlu pemikiran yang cepat, efektif, dan efisien. Perlu ribuan –atau bahkan jutaan- tetes keringat untuk menjalankannya.
Semoga Majelis Muwashalah, UPN Veteran Surabaya, Kemkominfo, PT Telkom, ICT Wacth, Relawan TIK, dan berbagai elemen yang sudah ada bisa istiqamah melestarikan dan mengembangkan gerakan ini. Semoga gerakan ini benar-benar bisa mensehatkan dan mengamankan Indonesia dari anasir jahat dunia online. Menghiasi dan mengembangkan TIK dengan hal-hal yang bermanfaat. Amin!!!.  

Sidoarjo, 16 Juli 2012.


 Sosialisasi INSAN di UPN Veteran Surabaya
Dari kiri: Ketua Majelis Muwashalah Indonesia, 
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Dirjen Kemkominfo
Rektor UPN Veteran


  Penandatangan MoU INSAN
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Rektor UPN Veteran
PT Telkom Indonesia
Dirjen Kemkominfo
Usai acara:
Ketua Majelis Muwashalah Indonesia, 
Sekretaris Jendral Majelis Muwashalah Asia Tenggara,
Rektor UPN Veteran
Dirjen Kemkominfo
PT Telkom Indonesia
Beberapa elemen lainnya