Minggu, 28 Oktober 2012

Membudayakan Kembali Tradisi Menulis Santri


Sebuah Diskusi Kecil di Saung Hotel Jayakarta Jogjakarta
Jogjakarta, 19 Oktober 2012 M.

Menulis sebenarnya bukanlah ‘barang’ baru umat muslim, termasuk kaum santri. Karena pada hakekatnya para pendahulu telah sukses membuktikan sebagai penulis-penulis kenamaan dunia. Sebut saja sebagai Imam Syafi’I yang dikenal sebagai fiqihnya, Imam Ghozali yang dikenal dengan Tasawufnya, Imam Bukhari yang dikenal dengan haditsnya, dan berbagai deretan nama lainnya. Sedangkan untuk wilayah nusantara, kita bisa menyebut nama Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz at-Tarmasi, KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.


Urgensi Menulis Bagi Santri

Menurut bahasanya, menulis berarti melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat dengan tulisan. Menulis menjadi penting karena secara umum dengan menulis memiliki minimal dua manfaat, yaitu: manfaat yang kembali kepada diri atau komunitas penulis dan manfaat untuk pihak luar penulis atau komunitas penulis. Bagian pertama, jika seseorang menulis maka akan memberi manfdaat pemafahan atas masalah-masalah yang dikaji. Kemudian ini akan menghasilkan perputaran keilmuan dalam komunitas tersebut.
Bagian kedua akan melahirkan dua manfaat juga, yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan atau menyiarkan ajaran agama dengan baik dan kedua sebagai satu kekuatan yang dapat melindungi pemikiran atau keyakinan kemunitas di persimpangan jalan pemikiran umat manusia. Misalnya saat terjadi persaingan dan tawar-menawar pemikiran dalam realitas kehidupan, maka jika santri mampu menulis dengan baik gagasan pemikirannya akan dapat menjadi pelindung dari anasir jahat pemikiran yang merusak.
Selain unsur di atas, menulis menurut Ahmad Fikri, salah satu pegiat kepenulisan santri di Jogjakarta dapat menjadi media yang penting dalam menyalurkan energi positif santri. Hal ini disampaikan saat memberikan materi kepada 29 utusan pesantren Nusantara di Hotel Jayakarya Yogyakarta pada tanggal 19 Oktober 2012.
Dalam kesempatan itu, penulis buku Tawashow di Pesantren itu mengatakan bahwa hari-hari ini geliat menulis di kalangan santri sudah mulai bangkit kembali. Ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya penulis-penulis nusantara yang berlatar balakang pesantren. Mereka dengan teguh menancapkan pemikiran dan eksistensi pesantren dalam ranah sosial-kemasyarakatan.

Dakwah dengan Media
Beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan berita yang mengaitkan pesantren dengan peristiwa kelam bangsa ini, yaitu kekecauan –prahara- sejarah tentang komunisme. Salah satu Koran besar nasional meng-ekspos besar-besar pemutar-balikan sejarah. Media itu menuduh salah satu Pesantren besar di Jawa Timur terlibat pelanggaran HAM berat, pembunuhan para anggota Partai Komunis kala itu. Padahal fakta sesungguhnya tidaklah demikian.
Pada dasarnya, pesantren-pesantren, termasuk yang dituduh itu memiliki doktrin yang kuat untuk tidak berbuat aniaya terhadap sesama, apalagi sampai membunuh. Sebuah hadits mengatakan, tidak diperkenankan berbuat aniaya, baik atas diri sendiri maupun terhadap orang lain. Jika kemudian dituduh melakukan pelanggaran HAM –dengan dakwaan pembunuhan massal- sungguh itu diluar nalar pemikiran pesantren. Pembunuhan tanpa sebab yang dibenarkan merupakan pelanggaran ajaran agama yang serius, termasuk dosa besar. Rasulullah Saw. Bersabda, jauhilah tujuh perkara yang merusak. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasulallah?”. Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh yang diharamkan Allah –kecuali dengan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh berzina perempuan baik-baik”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Meski demikian, karena yang mengangkat adalah salah satu media besar dan ternama di Indonesia, maka ‘pemutar-balikan’ itupun kini masih menjadi isu hangat nasional. Dari peristiwa ini, tentu kita tidak bisa menganggap ringan peran media dalam membentengi perjuangan dan dakwah santri. Apalagi jika akhir-akhir ini kita menyaksikan betapa banyak media-media yang memberikan pemahaman tentang islam namun dengan sumber dan rujukan yang tidak valid. Pemahaman ini akan melahirkan pendangkalan agama secara besar-besaran.
Sudah saatnya, pesantren-pesantren di seluruh nusantara untuk bangkit mempertahankan gagasan dan pemikirannya. Menyiarkan ajaran yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad Saw. Menolak pendapat-pendapat yang menyimpang dari garis yang ditetapkan. Kedua langkah ini bisa ditempuh –diantaranya- dengan menguatkan media dakwah.

Membangkitkan Kembali Tradisi Menulis Santri
Untuk itu, perlu adanya usaha membangkitkan kembali tradisi menulis dikalangan santri. Menurut Drs. H A Saefuddin, MA, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia bahwa sudah saatnya santri dan pesantren menggiatkan kembali potensi kepenulisannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan saat pembukaan Majma Pesantren se-Indonesia di Hotel Jayakarta Jogjakarta pada hari Jumat tanggal 19 Oktober 2012 M.
Dalam kesempatan itu pula, ia berharap setelah seminar ini pesantren dapat meningkatkan kualitas manajemen dan geliat kepenulisan pada masing-masing pesantren. Menyebarkan ilmu yang sudah didapat kepada sesama pengurus sehingga ilmunya lebih bermanfaat. Memaksimalkan segala potensi yang ada dalam mengembangkan pesantren.   
Acara ini juga disambut baik oleh para peserta. Wardhani Dimyati, perwakilan dari Pondok Pesantren Termas Pacitan mengatakan, “Acara-acara seperti ini sangat bermanfaat bagi pengembangan potensi pesantren”. Nur Wahid, perwakilan dari Asrama Pelajar Islam (API) Tegalrejo mengatakan, “Dengan adanya kegiatan ini saya dapat menambah wawasan jurnalistik”. Dan masih banyak komentar lain yang menunjukkan apresiasi terhadap kegiatan ini.
Usaha membangkitkan kembali gairah kepenulisan santri tentu tidak cukup hanya dengan seminar ini. Justru yang menjadi penting adalah adanya kesinambungan masing-masing pesantren dalam mengembangkan tradisi menulis. Dengan adanya acara ini diharapkan terjadi penguatan komunikasi antar pesantren dalam mengambangkan tradisi menulis.













1 komentar:

  1. sepakat Kang...mudah-mudahan jadi salah satu orang yang bermanfaat....
    NB : Photonya yg bawah sendiri....NggUwaanteng tenan....heheheheh

    BalasHapus