Kamis, 27 September 2012

Benarkah Islam Agama Teroris?


Akhir-akhir ini wajah dunia islam terkoyak. Beberapa kasus bom dan kekerasan segelintir kelompok minoritas seolah-olah menjadi pembenar bahwa islam adalah agama teroris. Benarkah demikian? Inilah komentar Habib Shaleh al-Jufri, Ketua Umum Majelis Muwasholah Baina Ulail Muslimin Indonesia yang memiliki jaringan seribuan pesantren di Nusantara. Tulisan ini merupakan resume dari wawancara penulis di Aula Pascasarjana UPN Veteran Surabaya beberapa waktu lalu.

Fitnah Besar
Tahun-tahun ini merupakan duka besar bagi umat islam. Berbagai tragedi kekerasan melekat pada wajah islam yang damai. Pengeboman dari satu tempat ke tempat lain menjadi alamat agama yang sebenarnya melarang kekerasan. 
Tragedi awal adalah runtuhnya gedung WTC yang hingga sekarang masih diperselisihkan kebenaran fakta pelakunya. Namun kejadian itu telah merembet hingga menjadi awal perang terhadap terorisme yang disandarkan pada agama Islam. Besar kemungkinan ini termasuk propaganda musuh-musuh islam yang ingin mencitrakan islam sebagai agama kekerasan. 

Rasulullah tidak Mengajarkan Kekerasan
Kebaikan dan kemungkaran merupakan dua nama yang tidak bisa dipisahkan dalam realitasnya. Rasulullah mengajarkan kita agar merubah kemungkaran dengan cara-cara yang tidak mungkar. Beliau memberi aturan yang baik dan jelas.
Dalam sebuah hadits, beliau memberikan tiga konsep perubahan, yaitu: merubah dengan tangan (kekuasaan), merubah dengan lisan, dan merubah dengan hati. Masing-masing posisi memiliki fungsi dan tempat yang berbeda. Perubahan dengan kekuasaan merupakan bagian dari tugas Negara melalui aturan-aturan hukum. Perubahan lisan merupakan bagian dari ulama melalui fatwa, mauidhoh, dan lain sebagainya. Sedangkan perubahan hati atau doa adalah untuk kalangan umum umat muslimin.
Redaksi hadits di atas menggunakan istilah perubahan bukan penghancuran. Logikanya, bagaimana caranya umat yang kurang baik menjadi baik dan mungkar menjadi shaleh. Perubahan itu harus dengan tahapan-tahapan yang benar.
Selain itu, semua pihak harus berada pada posisinya. Seorang aparatur harus menggunakan pengaruhnya untuk menghalau semaksimal mungkin kemungkaran.  Seorang ulama menyampaikan ilmunya tentang kebajikan. Sedangkan masyarakat awam berdoa dengan hati yang ikhlas dan khuduk akan sirnanya kemungkaran.
Jangan sampai kemudian terjadi timpang tindih yang tidak karuan. Birokrasi berceramah kemana-mana tentang agama sementara apa yang disampaikan tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Ulama melakukan tindak kekerasan tanpa proses hukum yang jelas. Begitu pula orang awam yang tidak berada pada posisinya. Bukankan kerusakan besar jika seorang ulama mendiamkan ilmunya. Apalagi orang awam yang mengaku orang alim dengan berbicara banyak hal namun hakekatnya dia sendiri tidak mengetahuinya.

Dakwah Budaya Walisongo
Kita bersyukur hidup di Indonesia. Negara yang berpenduduk muslim terbesar dunia. Islam masuk ke nusantara tidak melewati pertumpahan darah namun dengan jalan yang damai.
Adalah Walisongo, perkumpulan para dai yang mengislamkan nusantara. Pengaruh-pengaruh mereka hingga kini dapat kita rasakah meski telah melewati waktu ratusan tahun. ini menunjukkan betapa dakwah mereka menancap kuat di hati dan bumi negeri ini.
Mereka mengajarkan islam dengan memasuki budaya-budaya setempat. Mengajarkan agama dengan lagu-lagu yang baik, berdagang, dan menikah. Tidak ada gerakan kekerasan. Namun hasilnya luar biasa, mayoritas penduduk nusantara memilih ajaran Nabi Muhammad ini sebagai pedoman hidup. Mari kita meniru dakwah mereka, merubah kemungkaran dengan cara-cara yang santun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar